PENGERTIAN HUTAN
Hutan adalah sebuah
kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan
semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi
sebagai penampung karbon dioksida (carbon
dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta
pelestari tanah, dan merupakan
salah satu aspek biosfer Bumi yang paling
penting.
Hutan
merupakan suatu kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama pepohonan atau
tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas.
Pohon sendiri adalah
tumbuhan cukup tinggi dengan masa hidup bertahun-tahun. Jadi, tentu berbeda
dengan sayur-sayuran atau padi-padian yang hidup semusim saja. Pohon juga
berbeda karena secara mencolok memiliki sebatang pokok tegak berkayu yang cukup
panjang dan bentuk tajuk (mahkota daun) yang jelas.
Suatu
kumpulan pepohonan dianggap hutan jika mampu menciptakan iklim dan kondisi
lingkungan yang khas setempat, yang berbeda daripada daerah di luarnya. Jika
kita berada di hutan hujan tropis, rasanya
seperti masuk ke dalam ruang sauna yang hangat dan
lembap, yang berbeda daripada daerah perladangan sekitarnya. Pemandangannya pun
berlainan. Ini berarti segala tumbuhan lain dan hewan (hingga yang
sekecil-kecilnya), serta beraneka unsur tak hidup lain termasuk bagian-bagian
penyusun yang tidak terpisahkan dari hutan.
Hutan
sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumberdaya alam berupa kayu,
tetapi masih banyak potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh
masyarakat melalui budidaya tanaman pertanian pada lahan hutan. Sebagai fungsi
ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air,
penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan fauna, dan peran penyeimbang
lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global. Sebagai fungsi penyedia
air bagi kehidupan hutan merupakan salah satu kawasan yang sangat penting, hal
ini dikarenakan hutan adalah tempat bertumbuhnya berjuta tanaman.
JENIS
JENIS HUTAN DI INDONESIA
Berdasarkan
biogeografi
Kepulauan Nusantara adalah relief alam yang terbentuk dari proses
pertemuan antara tiga lempeng bumi. Hingga hari ini pun, ketiga lempeng bumi
itu masih terus saling mendekati. Akibatnya, antara lain, gempa bumi sering terjadi di negeri kepulauan ini.
Sejarah
pembentukan Kepulauan Nusantara di sabuk khatulistiwa itu menghasilkan tiga
kawasan biogeografi utama, yaitu: Paparan Sunda, Wallacea, dan Paparan Sahul.
Masing-masing kawasan biogeografi adalah cerminan dari sebaran bentuk kehidupan
berdasarkan perbedaan permukaan fisik buminya.
-
Kawasan Paparan Sunda (di bagian barat)
Paparan
Sunda adalah lempeng bumi yang bergerak dari Kawasan Oriental (Benua Asia) dan
berada di sisi barat Garis Wallace. Garis Wallace merupakan suatu garis khayal pembatas
antara dunia flora fauna di
Paparan Sunda dan di bagian lebih timur Indonesia. Garis ini bergerak dari
utara ke selatan, antara Kalimantan dan Sulawesi, serta antara Balidan Lombok. Garis ini
mengikuti nama biolog Alfred Russel Wallace yang, pada 1858,
memperlihatkan bahwa persebaran flora fauna di Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan
Bali lebih mirip dengan yang ada di daratan Benua Asia.
-
Kawasan Paparan Sahul (di bagian timur)
Paparan
Sahul adalah lempeng bumi yang bergerak dari Kawasan Australesia (Benua Australia) dan berada di sisi timur Garis Weber. Garis Weber
adalah sebuah garis khayal pembatas antara dunia flora fauna di Paparan Sahul
dan di bagian lebih barat Indonesia. Garis ini membujur dari utara ke selatan antara
Kepulauan Maluku dan Papua serta antara Nusa Tenggara Timur dan Australia. Garis ini
mengikuti nama biolog Max Weber yang, sekitar 1902,
memperlihatkan bahwa persebaran flora fauna di kawasan ini lebih serupa dengan
yang ada di Benua Australia.
-
Kawasan Wallace / Laut Dalam (di bagian tengah)
Lempeng bumi
pinggiran Asia Timur ini bergerak di sela Garis Wallace dan Garis Weber.
Kawasan ini mencakup Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara), dan
Kepulauan Maluku. Flora fauna di kawasan ini banyak merupakan jenis-jenis
endemik (hanya ditemukan di tempat bersangkutan, tidak ditemukan di bagian lain
manapun di dunia). Namun, kawasan ini juga memiliki unsur-unsur baik dari
Kawasan Oriental maupun dari Kawasan Australesia. Wallace berpendapat bahwa
laut tertutup es pada Zaman Es sehingga tumbuhan dan satwa di Asia dan
Australia dapat menyeberang dan berkumpul di Nusantara. Walaupun jenis flora
fauna Asia tetap lebih banyak terdapat di bagian barat dan jenis flora fauna
Australia di bagian timur, hal ini dikarenakan Kawasan Wallace dulu
merupakan palung laut yang
sangat dalam sehingga fauna sukar untuk melintasinya dan flora berhenti
menyebar.
Berdasarkan iklim
Dari
letak garis lintangnya, Indonesia memang termasuk daerah
beriklim tropis. Namun, posisinya di antara dua benua dan di
antara dua samudera membuat iklim kepulauan ini lebih beragam. Berdasarkan perbandingan
jumlah bulan kering terhadap jumlah bulan basah per tahun, Indonesia mencakup
tiga daerah iklim, yaitu:
- Daerah
tipe iklim A (sangat basah) yang puncak musim hujannya jatuh antara Oktober dan Januari, kadang hingga Februari. Daerah ini mencakup Pulau Sumatera; Kalimantan;
bagian barat dan tengah Pulau Jawa; sisi barat Pulau Sulawesi.
- Daerah
tipe iklim B (basah) yang
puncak musim hujannya jatuh antara Mei dan
Juli, serta Agustus atau September sebagai bulan terkering. Daerah ini mencakup
bagian timur Pulau Sulawesi; Maluku; sebagian besar Papua.
- Daerah
tipe iklim C (agak kering) yang lebih sedikit jumlah curah hujannya, sedangkan bulan
terkeringnya lebih panjang. Daerah ini mencakup Jawa Timur; sebagian Pulau Madura; Pulau Bali; Nusa Tenggara; bagian paling ujung
selatan Papua.
Berdasarkan
perbedaan iklim ini, Indonesia memiliki hutan gambut, hutan hujan tropis, dan
hutan muson.
- Hutan
gambut ada di
daerah tipe iklim A atau B, yaitu di pantai timur Sumatera, sepanjang pantai
dan sungai besar Kalimantan, dan sebagian besar pantai selatan Papua.
- Hutan
hujan tropis menempati
daerah tipe iklim A dan B. Jenis hutan ini menutupi sebagian besar Pulau
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Utara, dan Papua. Di bagian barat
Indonesia, lapisan tajuk tertinggi hutan dipenuhi famili Dipterocarpaceae
(terutama genus Shorea, Dipterocarpus, Dryobalanops, dan Hopea). Lapisan tajuk
di bawahnya ditempati oleh famili Lauraceae, Myristicaceae, Myrtaceae, dan
Guttiferaceae. Di bagian timur, genus utamanya adalah Pometia, Instia,
Palaquium, Parinari, Agathis, dan Kalappia.
- Hutan
muson tumbuh
di daerah tipe iklim C atau D, yaitu di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur,
Bali, NTB, sebagian NTT, bagian tenggara Maluku, dan sebagian pantai selatan
Irian Jaya. Spesies pohon di hutan ini seperti jati (Tectona grandis),
walikukun (Actinophora fragrans), ekaliptus (Eucalyptus alba), cendana
(Santalum album), dan kayuputih (Melaleuca leucadendron).
Berdasarkan
sifat tanahnya
Berdasarkan
sifat tanah, jenis hutan di Indonesia mencakup hutan pantai, hutan mangrove,
dan hutan rawa.
- Hutan
pantai terdapat
sepanjang pantai yang kering, berpasir, dan tidak landai, seperti di pantai
selatan Jawa. Spesies pohonnya seperti ketapang (Terminalia catappa),
waru (Hibiscus tiliaceus), cemara laut (Casuarina equisetifolia),
dan pandan (Pandanus tectorius).
- Hutan
mangrove Indonesia
mencapai 776.000 ha dan tersebar di sepanjang pantai utara Jawa, pantai timur
Sumatera, sepanjang pantai Kalimantan, dan pantai selatan Papua. Jenis-jenis
pohon utamanya berasal dari genus Avicennia, Sonneratia, dan Rhizopheria.
- Hutan rawa terdapat di hampir semua
pulau, terutama Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Spesies pohon rawa misalnya
adalah nyatoh (Palaquium leiocarpum), kempas (Koompassia spp),
dan ramin (Gonystylus spp).
Berdasarkan
pemanfaatan lahan
Luas hutan
Indonesia terus menciut, sebagaimana diperlihatkan oleh tabel berikut: Luas
Penetapan Kawasan Hutan oleh Departemen Kehutanan Tahun Luas (Hektar) 1950
162,0 juta 1992 118,7 juta 2003 110,0 juta 2005 93,92 juta
Berdasarkan
hasil penafsiran citra satelit, kawasan hutan Indonesia yang mencapai 93,92
juta hektar pada 2005 itu
dapat dirinci pemanfaatannya sebagai berikut:
Hutan tetap
: 88,27 juta ha
Hutan
konservasi : 15,37 juta ha
Hutan lindung
: 22,10 juta ha
Hutan
produksi terbatas : 18,18 juta ha
Hutan
produksi tetap : 20,62 juta ha
Hutan
produksi yang dapat dikonversi : 10,69 juta ha.
Areal
Penggunaan Lain (non-kawasan hutan) : 7,96 juta ha.
Lahan hutan
terluas ada di Papua (32,36 juta ha), diikuti berturut-turut oleh Kalimantan
(28,23 juta ha), Sumatera (14,65 juta ha), Sulawesi (8,87 juta ha), Maluku dan
Maluku Utara (4,02 juta ha), Jawa (3,09 juta ha), serta Bali dan Nusa Tenggara
(2,7 juta ha).
KONDISI
HUTAN INDONESIA
Hutan-hutan Indonesia memiliki
keanekaragaman hayati yang tertinggi di dunia, meskipun luas daratannya hanya
1,3 persen dari luas daratan di permukaan bumi. Kekayaan hayatinya mencapai 11
persen spesies tumbuhan yang terdapat di permukaan bumi. Selain itu, terdapat
10 persen spesies mamalia dari total binatang mamalia bumi, dan 16 persen
spesies burung di dunia.
Sejatinya, seberapa luas hutan di Indonesia? Dinas
Kehutanan Indonesia pada 1950 pernah merilis peta vegetasi. Peta yang
memberikan informasi lugas, bahwa, dulunya sekitar 84 persen luas daratan
Indonesia (162.290.000 hektar) pada masa itu, tertutup hutan primer dan
sekunder, termasuk seluruh tipe perkebunan.
Peta vegetasi 1950 juga menyebutkan luas
hutan per pulau secara berturut-turut, Kalimantan memiliki areal hutan seluas
51.400.000 hektar, Irian Jaya seluas 40.700.000 hektar, Sumatera seluas
37.370.000 hektar, Sulawesi seluas 17.050.000 hektar, Maluku seluas 7.300.000
hektar, Jawa seluas 5.070.000 hektar dan terakhir Bali dan Nusa Tenggara Barat/Timur
seluas 3.400.000 hektar.
Menurut catatan pada masa pendudukan
Belanda, pada 1939 perkebunan skala besar yang dieksploitasi luasnya mencapai
2,5 juta hektar dan hanya 1,2 juta hektar yang ditanami. Sektor ini mengalami
stagnasi sepanjang tahun 1940-an hingga 1950-an. Tahun 1969, luas perkebunan
skala kecil hanya mencapai 4,6 juta hektar. Sebagaian besar lahan hutan itu
berubah menjadi perkebunan atau persawahan sekitar 1950-an dan 1960-an. Alasan
utama pembukaan hutan yang terjadi adalah untuk kepentingan pertanian, terutama
untuk budidaya padi.
Memasuki era 1970-an, hutan Indonesia
menginjak babak baru. Di masa era ini, deforestrasi (menghilangnya lahan hutan)
mulai menjadi masalah serius. Industri perkayuan memang sedang tumbuh. Pohon
bagaikan emas coklat yang menggiurkan keuntungannya. Lalu penebangan hutan
secara komersial mulai dibuka besar-besaran. Saat itu terdapat konsesi
pembalakan hutan (illegal logging), yang awalnya bertujuan untuk
mengembangkan sistem produksi kayu untuk kepentingan masa depan. Pada akhirnya
langkah ini terus melaju menuju degradasi hutan yang serius. Kondisi ini juga
diikuti oleh pembukaan lahan dan konversi menjadi bentuk pemakaian lahan
lainnya.
Hasil survei yang dilakukan pemerintah
menyebutkan bahwa tutupan hutan pada tahun 1985 mencapai 119 juta hektar. bila
dibandingkan dengan luas hutan tahun 1950 maka terjadi penurunan sebesar 27
persen. Antara 1970-an dan 1990-an, laju deforestrasi diperkirakan antara 0,6
dan 1,2 juta hektar.
Namun angka-angka itu segera diralat, ketika
pemerintah dan Bank Dunia pada 1999, bekerjasama melakukan pemetaan ulang pada
areal tutupan hutan. Menurut survei 1999 itu, laju deforestrasi rata-rata dari
tahun 1985–1997 mencapai 1,7 juta hektar. Selama periode tersebut, Sulawesi,
Sumatera, dan Kalimantan mengalami deforestrasi terbesar. Secara keseluruhan
daerah-daerah ini kehilangan lebih dari 20 persen tutupan hutannya. Para ahli
pun sepakat, bila kondisinya masih begitu terus, hutan dataran rendah non rawa
akan lenyap dari Sumatera pada 2005 dan di Kalimantan setelah 2010.
Pada akhirnya ditarik suatu kesimpulan
yang mengejutkan. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang
sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan
aslinya sebesar 72 persen (Sumber: World Resource Institute, 1997).
3.
|
Pada periode 1997–2000, ditemukan fakta baru bahwa
penyusutan hutan meningkat menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Dua kali lebih
cepat ketimbang tahun 1980. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu
tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia
berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta
hektar hutan dan lahan rusak, di antaranya seluas 59,62 juta hektar berada
dalam kawasan hutan (Badan Planologi Dephut, 2003).3 Dan
menciptakan potret keadaan hutan Indonesia dari sisi ekologi, ekonomi, dan
sosial ternyata semakin buram.
Forest Watch Indonesia bersama Global
Forest Watch menyajikan laporan penilaian komprehensif yang pertama mengenai
keadaan hutan Indonesia. Laporan ini menyimpulkan bahwa laju deforestasi yang
meningkat dua kali lipat utamanya disebabkan suatu sistem politik dan ekonomi
yang korup, yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber
pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan
pribadi. Ketidakstabilan politik yang mengikuti krisis ekonomi pada 1997 dan
yang akhirnya me-lengser-kan Presiden Soeharto pada 1998, menyebabkan
deforestasi semakin bertambah sampai tingkatan yang terjadi pada saat ini.
Pengelolaan hutan yang buruk dimulai
semenjak Soeharto berkuasa. Konsesi Hak Pengusahaan Hutan yang mencakup lebih
dari setengah luas total hutan Indonesia, oleh mantan Presiden Soeharto
sebagian besar di antaranya diberikan kepada sanak saudara dan para pendukung
politiknya. Kroniisme di sektor kehutanan membuat para pengusaha kehutanan
bebas beroperasi tanpa memperhatikan kelestarian produksi jangka panjang.
Ekspansi besar-besaran dalam industri kayu lapis dan industri pulp dan
kertas selama 20 tahun terakhir menyebabkan permintaan terhadap bahan baku kayu
pada saat ini jauh melebihi pasokan legal. Kesenjangannya mencapai 40 juta
meter kubik setiap tahun. Banyak industri pengolahan kayu yang mengakui
ketergantungan mereka pada kayu curian, jumlahnya mencapai 65 persen dari
pasokan total pada 2000.
Korupsi dan anarki atau ketiadaan hukum semakin berkembang menjadi faktor
utama meningkatnya pembalakan ilegal dan penggundulan hutan. Pencurian kayu
bahkan marak terjadi di kawasan konservasi, misalnya di Taman Nasional Tanjung
Puting di Kalimantan Tengah dan di Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera
Utara dan Aceh.
Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan sistem konversi hutan menjadi
perkebunan menyebabkan deforestasi bertambah luas. Banyak pengusaha mengajukan
permohonan izin pembangunan HTI dan perkebunan hanya sebagai dalih untuk
mendapatkan keuntungan besar dari Izin Pemanfaatan Kayu (kayu IPK) pada areal
hutan alam yang dikonversi. Setelah itu mereka tidak melakukan penanaman
kembali, yang menyebabkan jutaan hektar lahan menjadi terlantar. Disamping itu,
beberapa perusahaan perkebunan dan HTI sering melakukan pembakaran untuk
pembersihan lahan, yang merupakan sumber utama bencana kebakaran hutan di
Indonesia.
Pembakaran hutan merupakan salah satu ancaman
serius terhadap kerusakan hutan Indonesia. Namun demikian, sampai saat ini
belum banyak tindakan hukum yang telah diambil oleh pemerintah terhadap para
pembakar hutan, meskipun sudah ada peraturan perundangan tentang larangan
pembakaran hutan, di antaranya PP No. 4 Tahun 2001.
Beberapa
kesimpulan dalam buku laporan ini adalah sebagai berikut:
o Dalam kurun waktu 60 tahun terakhir, tutupan hutan di Indonesia berkurang
dari 162 juta ha menjadi hanya 88,17 juta ha pada tahun 2009. Atau setara
dengan sekitar 46,3 persen dari luas total daratan Indonesia.
o Periode
tahun 2000-2009, luas tutupan hutan Indonesia yang terdeforestasi adalah
sebesar 15,15 juta ha, dan deforestasi terbesar terjadi di Kalimantan yaitu
sekitar 5,5 juta ha (36,3 persen).
o Hutan
Lindung yang terdeforestasi sebesar 2 juta ha sementara pada Kawasan Konservasi
kurang lebih 1,27 juta ha.
o Pada tahun
2009 tutupan hutan di lahan gambut sekitar 10,77 juta ha atau sekitar 51 persen
dari luas lahan gambut Indonesia.
o Periode
tahun 2000-2009 tutupan hutan di lahan gambut mengalami deforestasi seluas 2
juta ha dengan sebaran deforestasi terluas terjadi di Sumatera yaitu sekitar
0,98 juta ha.
o Laju
deforestasi pada periode tahun 2000-2009 adalah sebesar 1,5 juta ha per tahun,
dengan laju deforestasi terbesar di Kalimantan yaitu sekitar 551 ribu ha per
tahun.
o Pada tahun
2020 diperkirakan tutupan hutan di Jawa akan habis dan pada tahun 2030 tutupan
hutan di Bali-Nusa Tenggara juga akan habis.
o Sejak
tahun 2003 kontribusi sektor kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto, terus
mengalami penurunan yang signifikan. Dan pada tahun 2008, kontribusinya hanya
tinggal 0,79 persen. Kecenderungan penurunan ini menjadi hal yang dipertanyakan
mengingat pada rentang waktu yang relatif sama, produksi kayu bulat nasional
justru mengalami peningkatan.
o Pada tahun
1995 unit Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (Hak
Pengusahaan Hutan) berjumlah 487 unit, sedang pada tahun 2009 turun menjadi 308
unit dengan luas 26,16 juta ha.
o Rentang
waktu tahun 1995-2009, perkembangan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
pada Hutan Tanaman (Hutan Tanaman Industri) berkembang secara masif. Pada tahun
1995 hanya 9 (sembilan) unit, menjadi 229 unit pada tahun 2009, dengan luasan
9,97 juta ha.
o Pada tahun
2008, Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri primer hasil hutan kayu (termasuk
kapasitas produksi di atas dan di bawah 6.000 meter kubik per tahun) yang
berasal dari Hak Pengusahaan Hutan adalah 8,4 juta meter kubik. Pada tahun 2008
produksi kayu dari Hutan Tanaman Industri sebesar 22,32 juta meter kubik yang
dialokasikan untuk pemenuhan bahan baku industri dengan kapasitas produksi di
atas 6.000 meter kubik.
o Kuasa
pertambangan memberi tekanan yang besar terhadap kawasan hutan. Hingga tahun
2011 lebih dari 6.000 kuasa pertambangan diterbitkan di dalam kawasan hutan dan
hanya sekitar 200 unit yang telah memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan.
o Tekanan
terhadap kawasan hutan secara tidak langsung diakibatkan oleh kebijakan tentang
penataan ruang wilayah dan kawasan hutan. Mekanisme paduserasi antara Tata Guna
Hutan Kesepakatan (TGHK) dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP),
tidak diikuti dengan aturan yang jelas dan tegas. Akibatnya, pemda kerap
menjadikan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (belum definitif) sebagai dasar
hukum untuk menerbitkan Izin Usaha Perkebunan dan atau Kuasa Pertambangan di
dalam kawasan hutan.
0 komentar: