Jika bukan karena teman, saya mungkin tidak akan mampir ke Odaiba — daerah surga belanja dan hiburan di pinggir teluk Tokyo, yang sebenernya merupakan pulau tambahan dan dibangun sebagai benteng pertahanan dari serangan laut.
Dan rekomendasi teman saya tidak salah. Begitu tiba di stasiun Daiba, pusat perbelanjaan Aqua City dan gedung Fuji TV yang berarsitektur unik siap menyambut. Sungguh surga belanja. Selain Aqua City, ada juga Decks yang sejajar. Hanya berjarak satu blok, ada Venus Fort yang sepintas seperti pertokoan di dalam Venetian Macao.
Berhubung kantong pas-pasan dan tidak berniat belanja, saya pun langsung melangkahkan kaki ke gedung Telecom Center (yang terletak di sebelah Fuji TV). Dari lantai tertinggi Telecom Center, kita bisa melihat pemandangan Tokyo dari ketinggian dengan gratis.
Setelah puas melihat pemandangan, saya memutuskan mencoba onsen, rumah pemandian yang populer di Odaiba. Yang paling luas di Tokyo, dengan desain dan tata cara mandi seperti pada zaman Edo, adalah Ooedo Onsen Monogatari. Tak heran harga masuknya 2900 yen (Rp 300 ribu) — hampir enam kali lipat dari harga pemandian di hotel kapsul saya di Asakusa.
Tetapi ada harga ada barang. Fasilitas Ooedo Onsen Monogatari memang super lengkap. Setelah membayar, pengunjung diharuskan menggunakan kimono sehingga suasana tradisionalnya langsung terasa. Ada 19 motif kimono yang dipajang di situ sehingga saya pun bebas memakai yang mana.
Dengan enam macam kolam pemandian, plus ruang uap dan sauna, berendam di sini rasanya seperti di surga. Saya suka berendam di kolam Kinu-no-Yu yang airnya berwarna putih (dan kabarnya berkhasiat mencerahkan kulit). Saya juga suka berendam di kolam luar ruangan, karena sebelumnya tidak pernah berendam di ruangan terbuka tanpa mengenakan pakaian.
Di beberapa sudut ruangan terbuka terdapat gentong besar untuk mereka yang ingin berendam sendirian.
Setelah puas berendam, saya berjalan berkeliling. Ternyata, ada juga fasilitas spa dan pijat dengan berbagai macam teknik (termasuk di kursi pijat yang menggunakan koin). Di bagian tengah gedung, berjajar toko oleh-oleh dan makanan dengan desain interior yang sudah disulap seperti zaman Edo.
Selain toko-toko itu, ada juga aula luas tempat pengunjung bersantap cemilan atau sekadar merebahkan badan untuk melepas penat.
Puas mencoba onsen, saya melanjutkan perjalanan. Tujuan terakhir adalah Odaiba Kaihin Kōen, taman pinggir teluk yang menampilkan replika patung Liberty. Sepintas memang mirip di New York, apalagi dengan tambahan jembatan pelangi sebagai latar belakang.
Pasir putih dan puluhan burung camar menjadi pemandangan yang menyegarkan mata. Pantas jika tempat ini menjadi lokasi favorit pasangan berkencan. Saya membayangkan, jika datang malam hari pasti pemandangan serta lampu warna-warni dari jembatan pelangi ini romantis.
Usai menikmati angin segar laut, saya pun memutuskan kembali ke kota dengan menggunakan kapal. Setelah melihat dari atas, saya ingin melihat Tokyo dari sisi lain, yaitu dengan menyusuri sungai Sumida sampai ke Asakusa, pelabuhan terakhir yang dekat dengan hotel.
Dan rekomendasi teman saya tidak salah. Begitu tiba di stasiun Daiba, pusat perbelanjaan Aqua City dan gedung Fuji TV yang berarsitektur unik siap menyambut. Sungguh surga belanja. Selain Aqua City, ada juga Decks yang sejajar. Hanya berjarak satu blok, ada Venus Fort yang sepintas seperti pertokoan di dalam Venetian Macao.
Berhubung kantong pas-pasan dan tidak berniat belanja, saya pun langsung melangkahkan kaki ke gedung Telecom Center (yang terletak di sebelah Fuji TV). Dari lantai tertinggi Telecom Center, kita bisa melihat pemandangan Tokyo dari ketinggian dengan gratis.
Setelah puas melihat pemandangan, saya memutuskan mencoba onsen, rumah pemandian yang populer di Odaiba. Yang paling luas di Tokyo, dengan desain dan tata cara mandi seperti pada zaman Edo, adalah Ooedo Onsen Monogatari. Tak heran harga masuknya 2900 yen (Rp 300 ribu) — hampir enam kali lipat dari harga pemandian di hotel kapsul saya di Asakusa.
Tetapi ada harga ada barang. Fasilitas Ooedo Onsen Monogatari memang super lengkap. Setelah membayar, pengunjung diharuskan menggunakan kimono sehingga suasana tradisionalnya langsung terasa. Ada 19 motif kimono yang dipajang di situ sehingga saya pun bebas memakai yang mana.
Dengan enam macam kolam pemandian, plus ruang uap dan sauna, berendam di sini rasanya seperti di surga. Saya suka berendam di kolam Kinu-no-Yu yang airnya berwarna putih (dan kabarnya berkhasiat mencerahkan kulit). Saya juga suka berendam di kolam luar ruangan, karena sebelumnya tidak pernah berendam di ruangan terbuka tanpa mengenakan pakaian.
Di beberapa sudut ruangan terbuka terdapat gentong besar untuk mereka yang ingin berendam sendirian.
Setelah puas berendam, saya berjalan berkeliling. Ternyata, ada juga fasilitas spa dan pijat dengan berbagai macam teknik (termasuk di kursi pijat yang menggunakan koin). Di bagian tengah gedung, berjajar toko oleh-oleh dan makanan dengan desain interior yang sudah disulap seperti zaman Edo.
Selain toko-toko itu, ada juga aula luas tempat pengunjung bersantap cemilan atau sekadar merebahkan badan untuk melepas penat.
Puas mencoba onsen, saya melanjutkan perjalanan. Tujuan terakhir adalah Odaiba Kaihin Kōen, taman pinggir teluk yang menampilkan replika patung Liberty. Sepintas memang mirip di New York, apalagi dengan tambahan jembatan pelangi sebagai latar belakang.
Pasir putih dan puluhan burung camar menjadi pemandangan yang menyegarkan mata. Pantas jika tempat ini menjadi lokasi favorit pasangan berkencan. Saya membayangkan, jika datang malam hari pasti pemandangan serta lampu warna-warni dari jembatan pelangi ini romantis.
Usai menikmati angin segar laut, saya pun memutuskan kembali ke kota dengan menggunakan kapal. Setelah melihat dari atas, saya ingin melihat Tokyo dari sisi lain, yaitu dengan menyusuri sungai Sumida sampai ke Asakusa, pelabuhan terakhir yang dekat dengan hotel.
0 komentar: